Peluang Pengembangan Ternak Kelinci

PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KELINCI 

Permintaan daging kelinci di luar negeri terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Lebas et al., (1983), bahwa produksi daging kelinci dunia pada tahun 1980 sebanyak 1 juta ton, dan pada tahun 1991 meningkat menjadi 3 juta ton (Lebas dan Collin, 1992). Hal ini memperlihatkan bahwa di luar negeri daging kelinci sangat disukai terutama bagi masyarakat di negara-negara Eropah. 

Berdasarkan data produksi dan konsumsi daging kelinci (Tabel 1) menunjukkan, bahwa konsumsi daging kelinci di negara Italia, Prancis, Spanyol, Belgia, Portugal dan Malta pada kisaran 2,0 kg/kapita/tahun hingga 5,3 kg/kapita/tahun, khususnya untuk negara Italia, Prancis dan Belgia, jumlah produksi daging kelinci lebih kecil dibandingkan dengan yang dikonsumsi, sehingga terjadi defisit untuk ke tiga negara tersebut sebanyak 36.000 ton. 

Rusia, Prancis, Italia, China dan negara-negara di Eropah Timur merupakan negara produsen terbesar daging kelinci, disamping itu ada pula beberapa negara yang memproduksi daging kelinci dalam jumlah kecil yang hanya ditujukan untuk konsumsi sendiri menyerupai beberapa negara Afrika dan Amerika Latni , Philipina, Malaysia, Mesir dan beberapa negara berkembang (Raharjo, 1994), sedangkan di Indonesia hingga ketika ini sulit untuk memperoleh data produksi dan konsumsi daging kelinci, namun berdasarkan Lebas dan Collen (1994), bahwa konsumsi daging kelinci di Indonesia gres mencapai 0,27 kg/kapita/tahun. 

Daging kelinci sanggup dijadikan peluang yang baik untuk mewujudkan standar norma gizi protein hewani yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia, sebab hingga tahun 2002 sektor peternakan gres mencapai 4,82 gram/kapita/hari masih jauh dari yang diharapkan. yaitu sebanyak 6 gram protein/kapita/hari. Protein tersebut berasal dari susu, telur dan daging sapi, kerbau, domba, kambing, babi, kuda dan unggas, sedangkan dari kelinci belum memperlihatkan kontribusi. 

Kelinci sanggup dijadikan sumber penghasil fur, sementara ini pengadaannya berasal dari binatang liar atau binatang yang telah dibudidayakan menyerupai Mink, Fox, Chinchilla dan Lynx, namun dengan makin meningkatnya perhatian terhadap ternak yang dilindungi dan makin dibatasinya penangkapan binatang liar, maka ada kecenderungan fur dari binatang liar jumlahnya akan menurun, sedangkan fur dari ternak yang dibudi dayakan akan semakin meningkat, namun fur dari kelinci mempunyai keunggulan dibandingkan dari binatang liar, sebab daging kelinci masih sanggup dikonsumsi oleh insan tidak demikian halnya daging dari Mink, Fox, Chinchilla dan Lynx. 

Pengadaan kulit di Indonesia masih terbatas pada kulit sapi, kerbau, domba dan kambing, sedangkan kelinci belum memperlihatkan tugas dalam penyediaan materi baku industri ini, padahal fur dari kelinci sanggup dijadikan sebagai materi baku industri garmen, sehingga sanggup meningkatkan devisa negara, sebab harganya yang cukup tinggi, sebagai referensi di Amerika Serikat harga satu lembar fur pada kisaran $ 8 - 15, satu buah boneka Teddy Bear dengan ukuran 20 x 20 x 40 cm harganya $ 200, sedangkan mantel bulu medium coat harganya $3.000 dan long coat $ 8.000. Negara sebagai produsen pakaian bulu yaitu Jepang, Hongkong dan Korea Selatan, yang kebutuhan materi bakunya hampir sepenuhnya bergantung kepada luar negeri, sebagai referensi tahun 1987 nilai impor Korea untuk kulit bulu mentah mencapai $ 185.000.

Share this post