Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik Di Bidang Peternakan
Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik Di Bidang Peternakan
Sebelum kita menunjukkan Antibiotik terhadap ternak, kita harus terlebih dahulu memahami obat tersebut.Di bawah ini ialah dampak negatif penggunaan antibiotik
Residu Antibiotik
Tiap senyawa anorganik atau organik, baik yang berupa obat-obatan, mineral atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam badan individu, akan mengalami banyak sekali proses yang terdiri dari : peresapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan eliminasi.
Kecepatan proses biologik tersebut di atas tergantung kepada jenis dan bentuk senyawa, cara masuknya dan kondisi jaringan yang memprosesnya. Apabila materi tersebut dimasukkan melalui mulut, peresapan terjadi di dalam akses pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus. Setelah terjadi peresapan , senyawa yang berbentuk orisinil maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh potongan tubuh. Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat badan yang memang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang bisa melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa dalam bentuk orisinil maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan badan lemah atau terdapat gangguan alat metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, maka akan terjadi timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh, itulah yang disebut dengan residu. Makara residu obat ialah akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan/ternak sehabis pemakaian obat hewan.
Pada perjuangan peternakan, residu sanggup ditemukan pada bahan-bahan yang berasal dari ternak sebagai akhir penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik, derma feed additive, ataupun hormon yang dipakai untuk memacu pertumbuhan hewan. Semakin intensif suatu perjuangan peternakan maka kemungkinan untuk tertimbunnya residu semakin besar dan bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu juga bisa berasal dari obat-obatan yang dipakai untuk mencegah kerusakan materi pakan, yang mungkin bisa berupa pestisida, herbisida, fungisida dan antiparasitika
Terdapat lebih dari 40 jenis antibiotik (termasuk senyawa sulfa) telah dipakai dalam upaya peningkatan hasil perjuangan di bidang peternakan. Penggunaan antibiotik untuk tujuan pengobatan penyakit atau untuk memacu pertumbuhan pada ternak harus dilandasi dengan pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik serta patofisiologi, kalau tidak maka akan timbul kerugian yang besar, baik berupa ancaman terhadap ternak itu sendiri maupun terhadap insan yang mengkonsumsinya.
Seringkali peternak tidak memperhatikan hukum pakai derma antibiotik, sehingga antibiotik yang diberikan sering di bawah takaran sehingga tidak manghasilkan kesembuhan pada ternak. Antibodi yang dibuat di dalam badan tidak sanggup pulih kembali, biro penyakit terus berkembang dalam kondisi yang lebih resisten. Selanjutnya penyakit akan kembali lagi dengan serangan yang lebih mahir dan tidak peka lagi terhadap jenis antibiotik yang sama dalam takaran yang sama. Keadaan tersebut memaksa petermak mempertinggi takaran pemakaian antibiotik. Akibat selanjutnya akan timbul shock pada ternak dan akan membunuh tumbuhan yang berada di usus ternak, sehingga sintesis vitamin oleh badan ternak terganggu serta terjadi super abses (infeksi baru).
Hal lain yang perlu untuk dipelajari ialah bahwa antibiotik tidak sanggup seluruhnya diekskresi dari jaringan badan ternak, menyerupai : daging, air susu dan telur. Hal ini berarti sebagian antibiotik masih tertahan dalam jaringan badan sebagai bentuk residu.
Terdapat beberapa residu obat yang terdapat dalam produk ternak sehabis pengolahan. Residu obat yang sering ditemukan antara lain ialah tetrasiklin, streptomisin, khloramfenikol dan benzyl-penicillin.
Tetrasiklin yang terdapat pada produk ternak sebanyak 5 ppm hingga dengan 10 ppm akan didegradasi dan hanya tersisa 1 ppm. Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui. Streptomisin tidak terpengaruh oleh pemanasan pada temperatur 1000C selama 2 jam. Khloramfenikol stabil terhadap panas. Pemanasan pata temperatur 1000C selama 30 menit akan menurunkan kadar menjadi 80%. Khloramfenikol hanya boleh dipakai oleh ternak bukan produksi.
Pemanasan pada temperatur 600C hingga 850C akan mengakibatkan benzyl-penicillin yang terdapat dalam daging terdegradasi dan dengan pemanasan yang lebih tinggi lagi meyebabkan terjadinya isomerisasi dari produk degradasi tersebut. Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui.
Problem kesehatan insan akan timbul kalau insan mengkonsumsi hasil ternak yang mengandung residu antibiotik. Beberapa imbas yang mungkin timbul pada insan akhir residu antibiotik, antara lain Penicillin seringkali mengakibatkan alergi bagi insan yang mengkonsumsinya dan mengakibatkan gangguan kulit, kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa diare dan sakit perut serta urtikaria dan hipotensi. Tetracyclin mengakibatkan gangguan kulit, fotosensitifitas, muntah, diare, shock anafilaksis yang diikuti kematian. Streptomycin menjadikan gangguan pada susunan syaraf sentra dan tepi, pusing-pusing, gangguan alat pendengaran, gangguan keseimbangan, vertigo dan ketulian. Chloramfenikol menjadikan anemia dan leukopenia.
Selain pengaruh-pengaruh di atas, antibiotik juga berdampak negatif terhadap ternak, antara lain berupa kendala pertumbuhan, penurunan daya tetas, toksisitas dan residunya dalam telur, daging maupun susu. Furaltadone bersifat menghambat pertumbuhan, Furazalidone mengakibatkan penurunan daya tetas dan kelompok Sulfa sering mengakibatkan toksisitas apabila kelebihan dosis. Chlorampenicol, Doxycyclin, Spyramycin, Tylosin, ditemukan :sebagai residu dalam telur dan daging. Tetracyclin,:Chloramphenicol dan Neomycin (TCN), mengganggu kehidupan mikroflora usus.
Resistensi Bakteri
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik sanggup terjadi alasannya ialah beberapa hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang menghasilkan enzim yang sanggup merusak acara obat (2) adanya perubahan permeabilitas dari mikroorganisme (3) adanya modifikasi reseptor site pada kuman sehingga mengakibatkan afinitas obat berkurang (4) adanya mutasi dan transfer genetik.
Transfer genetik antara strain Shigella telah ditemukan oleh Watanebe (1963), antara strain Gram negatif ditemukan oleh Falkow et al. (1966). Transfer resistensi bisa terjadi dari satu penderita ke penderita dan dari pangan asal ternak ke manusia.
Ransum ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi komplemen antibakteri, tetapi dalam dekade terakhir antibakteri banyak dipakai dengan alasan untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi. Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk kepentingan pakan komplemen jauh lebih besar daripada untuk tujuan pengobatan. Di Indonesia, penggunaan antibakteri sebagai pakan komplemen sudah dipakai dalam waktu yang cukup lama, namun hingga ketika ini belum ada monitoring untuk mengetahui dampak negatif dari antibakteri tersebut. Di Negara-negara Eropa, monitoring tersebut sudah dilakukan secara rutin, dan alasannya ialah terbukti menunjukkan dampak negatif, maka muncul larangan terhadap penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Larangan tersebut berawal dari diketahuinya kuman yang resisten terhadap tetrasiklin, dimana tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak dipakai di Eropa.
Resistensi kuman terhadap antibakteri sebagian besar terjadi alasannya ialah perubahan genetik dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi antibakteri ialah prosedur selektif antibakteri untuk membunuh kuman yang peka dan membiarkan kuman yang resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini terjadi alasannya ialah penggunaan antibakteri yang sama yang tidak terkendali.
Resistensi kuman terhadap antibiotik sanggup ditekan melalui cara-cara, antara lain (1) mempertahankan kadar antibiotik yang cukup dalam jaringan untuk menghambat populasi kuman orisinil dan yang mengalami mutasi tingkat rendah (2) memberi dua obat yang tidak memberi resisten silang secara simultan, masing-masing menunda timbulnya mutan resisten terhadap obat yang lain.
Pada awalnya duduk kasus resistensi kuman terhadap antibiotik bisa diatasi dengan inovasi golongan gres antibiotik dan modifikasi kimiawi antibiotik yang sudah ada, namun tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik gres sanggup mencegah kemampuan kuman pathogen untuk menjadi resisten. Bakteri mempunyai seperangkat cara menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Problem yang cukup penting ialah kemampuan kuman untuk mendapat materi genetik eksogenous yang bisa menjadikan terjadinya resistensi. Spesies pneumokokki dan meningokokki sanggup mengambil materi DNA dari luar sel (eksogenous) dan mengkombinasikannya ke dalam kromosom.
0 Response to "Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik Di Bidang Peternakan"
Post a Comment