Penggemukan Sapi Dengan Jerami
Indonesia masih kekurangan daging sapi. Kekurangan tersebut selama ini dipenuhi dari impor daging beku, sapi siap potong maupun sapi bakalan untuk digemukkan. Kendala utama yang mengakibatkan adanya kekurangan daging sapi tersebut yaitu jumlah induk betina sapi kita hanya tinggal sekitar 11 juta ekor. Idealnya kita mempunyai induk betika sekitar 14 sd. 15 juta ekor.
Namun di luar hambatan kekurangan induk sapi tersebut, produktivitas sapi potong kita juga sangat rendah. Kalau sapi impor rata-rata bisa tumbuh dengan peningkatan bobot tubuh 1 kg per hari, maka sapi lokal kita hanya akan bertambah berat tara-rata 0,5 kg. per hari. Kendala produktivitas sapi potong kita antara lain disebabkan oleh kurangnya hijauan sebagai ransum, terutama pada animo kemarau.
Di Jateng, DIY dan Jatim, limbah pertanian berupa tebon jagung dan jerami kering pun dipakai sebagai pakan sapi. Padahal nutrisi dari tebon dan jerami kering tersebut sudah sangat rendah. Makanan perhiasan yang diberikan oleh peternak kepada sapi mereka hanyalah dedak (padi serta jagung), ampas tahu, tetes serta limbah pertanian lainnya.
Namun di lain pihak, jerami padi banyak yang dibakar sia-sia. Di daerah Karawang, Jawa Barat atau di sentra-sentra penghasil padi lainnya, sering kita saksikan pembakaran jerami kering di sawah-sawah. Padahal di lain pihak, para peternak sapi di Gunung Kidul (DIY) serta Wonogiri (Jateng) sedang kekurangan hijauan untuk pakan sapi mereka.
Namun di luar hambatan kekurangan induk sapi tersebut, produktivitas sapi potong kita juga sangat rendah. Kalau sapi impor rata-rata bisa tumbuh dengan peningkatan bobot tubuh 1 kg per hari, maka sapi lokal kita hanya akan bertambah berat tara-rata 0,5 kg. per hari. Kendala produktivitas sapi potong kita antara lain disebabkan oleh kurangnya hijauan sebagai ransum, terutama pada animo kemarau.
Di Jateng, DIY dan Jatim, limbah pertanian berupa tebon jagung dan jerami kering pun dipakai sebagai pakan sapi. Padahal nutrisi dari tebon dan jerami kering tersebut sudah sangat rendah. Makanan perhiasan yang diberikan oleh peternak kepada sapi mereka hanyalah dedak (padi serta jagung), ampas tahu, tetes serta limbah pertanian lainnya.
Namun di lain pihak, jerami padi banyak yang dibakar sia-sia. Di daerah Karawang, Jawa Barat atau di sentra-sentra penghasil padi lainnya, sering kita saksikan pembakaran jerami kering di sawah-sawah. Padahal di lain pihak, para peternak sapi di Gunung Kidul (DIY) serta Wonogiri (Jateng) sedang kekurangan hijauan untuk pakan sapi mereka.
Pola peternakan sapi rakyat di Jawa, Bali dan Lampung, agak berbeda dengan di luar Jawa/Bali/Lampung. Di Jawa/Bali/Lampung, ternak sapi selalu dikandangkan. Sementara di luar daerah tersebut, sapi diliarkan di ladang-ladang atau hutan. Di Jawa/Bali/Lampung, peternak bisa berfungsi sebagai breeder, namun bisa pula sebagai penggemuk sapi kereman.
Yang dimaksud sebagai breeder adalah, yang mereka pelihara sapi betina. Hasil yang mereka harapkan yaitu anak sapi. Biasanya untuk proses pembuntingan, mereka memakai cara inseminasi buatan (kawin suntik). Kalau anak yang diperoleh jantan, akan digemukkan sebagai sapi potong. Apabila betina akan dibesarkan sebagai calon induk.
Keuntungan dari memelihara induk sapi betina ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan memelihara sapi bakalan untuk digemukkan sebagai sapi potong. Namun para peternak sapi di Jawa/Bali/Lampung biasanya tidak merasa dirugikan dengan memelihara sapi betina, lantaran mereka juga sekaligus menggemukkan sapi jantan hasil peternakan mereka.
Selain itu, di daerah ini sapi betina tersebut juga bisa berfungsi sebagai tenaga kerja membajak sawah. Hingga di Jawa/Bali/Lampung, peternak tidak pernah membeda-bedakan fungsi peternakan mereka, apakah sebagai breeder atau sebagai penggemuk sapi kereman.
Yang dimaksud sebagai breeder adalah, yang mereka pelihara sapi betina. Hasil yang mereka harapkan yaitu anak sapi. Biasanya untuk proses pembuntingan, mereka memakai cara inseminasi buatan (kawin suntik). Kalau anak yang diperoleh jantan, akan digemukkan sebagai sapi potong. Apabila betina akan dibesarkan sebagai calon induk.
Keuntungan dari memelihara induk sapi betina ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan memelihara sapi bakalan untuk digemukkan sebagai sapi potong. Namun para peternak sapi di Jawa/Bali/Lampung biasanya tidak merasa dirugikan dengan memelihara sapi betina, lantaran mereka juga sekaligus menggemukkan sapi jantan hasil peternakan mereka.
Selain itu, di daerah ini sapi betina tersebut juga bisa berfungsi sebagai tenaga kerja membajak sawah. Hingga di Jawa/Bali/Lampung, peternak tidak pernah membeda-bedakan fungsi peternakan mereka, apakah sebagai breeder atau sebagai penggemuk sapi kereman.
Baca Juga:
Jenis sapi lokal yang banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia yaitu sapi zebu, peranakan ongole (PO), sapi bali, sapi madura (silangan alami antara zebu, ongole dan bali), american brahman dan australian brahman. Kadang-kadang, di masyarakat juga kita jumpai jenis sapi yang tidak lagi tertangkap lembap galur/rasnya. Sebab di kalangan masyarakat pedesaan, dulu ada kebiasaan untuk mengawinkan sapi betina mereka, tanpa pernah memperhitungkan jenis pejantannya. Akibatnya sapi PO bisa kawin dengan sapi madura, sapi brahman dan sebagainya.
Keturunan yang diperoleh, tentu menjadi tidak murni lagi. Dulu, perkawinan sedarah (inbreeding) atau antar saudara, juga ikut pula memerosotkan kualitas sapi yang ada. Terjadi degradasi kualitas sapi yang ada di masyarakat. Upaya pemerintah dengan melaksanakan inseminasi buatan, berikut penyuluhan kepada para peternak, telah memperbaiki kualitas sapi rakyat. Hingga kini galur sapi yang dipelihara masyarakat kembali jelas.
Di Jawa dan Lampung, rata-rata masyarakat memelihara sapi zebu, PO atau brahman. Di Madura tentu sapi madura sementara di Bali sapi bali. Sapi madura dan sapi bali ini banyak pula dipelihara di NTP dan NTT. Di daerah transmigran atau pemukiman lain di Luar Jawa, Madura, Bali dan Lampung, sapi yang dipelihara tergantung dari masyarakat pemukimnya. Meskipun kini ada kecenderungan masyarakat untuk lebih menentukan sapi bali serta madura lantaran daya tahanannya yang relatif tinggi terhadap kekurangan hijauan maupun serangan penyakit.
Keturunan yang diperoleh, tentu menjadi tidak murni lagi. Dulu, perkawinan sedarah (inbreeding) atau antar saudara, juga ikut pula memerosotkan kualitas sapi yang ada. Terjadi degradasi kualitas sapi yang ada di masyarakat. Upaya pemerintah dengan melaksanakan inseminasi buatan, berikut penyuluhan kepada para peternak, telah memperbaiki kualitas sapi rakyat. Hingga kini galur sapi yang dipelihara masyarakat kembali jelas.
Di Jawa dan Lampung, rata-rata masyarakat memelihara sapi zebu, PO atau brahman. Di Madura tentu sapi madura sementara di Bali sapi bali. Sapi madura dan sapi bali ini banyak pula dipelihara di NTP dan NTT. Di daerah transmigran atau pemukiman lain di Luar Jawa, Madura, Bali dan Lampung, sapi yang dipelihara tergantung dari masyarakat pemukimnya. Meskipun kini ada kecenderungan masyarakat untuk lebih menentukan sapi bali serta madura lantaran daya tahanannya yang relatif tinggi terhadap kekurangan hijauan maupun serangan penyakit.
Dengan harga sekitar Rp 12.500,- per kg. hidup, dengan bobot rata-rata sekitar 300 sd. 400 kg. maka harga beli sapi jantan bakalan untuk digemukkan sekitar Rp 3.750.000,- sd. Rp 5.000.000,- Sapi-sapi lokal kita rata-rata akan mencapai pertambahan bobot hidup 0,5 kg. per hari. Sementara bakalan impor bisa tumbuh 1 kg. bobot hidup per hari.
Namun biaya pakan dan perawatan sapi impor juga lebih tinggi dari sapi lokal. Sementara harga per kg. bobot hidup sapi impor, justru lebih rendah dibanding sapi lokal. Ibaratnya harga ayam broiler dengan ayam kampung. Dengan pertambahan bobot hidup 0,5 kg. per hari, kalau harga per kg. bobot hidup Rp 12.500. maka akan diperoleh marjin kotor Rp 6.250,- per hari.
Dengan memakai contoh menggaduh (maro), maka 50% dari marjin tersebut merupakan hak bagi pemilik modal. Hingga hak bagi pemelihara hanyalah Rp 3.125,- per ekor per hari. Dri marjin tersebut, 50% untuk biaya pakan. terutama konsentrat. Sebab hijauan biasanya akan dicari sendiri oleh si pemelihara. Hingga nilai "upah" bagi pemelihara sapi potong yaitu Rp 1.562,50 per hari.
Dengan kemampuan menggemukkan rata-rata sekitar 4 ekor, maka nilai penghasilan tenaga buruh penggemukan sapi yaitu Rp 6.250,- per hari, dengan jam kerja antara 2 sd. 3 jam. Jam kerja ini akan dipakai untuk mencari hijauan, membersihkan kandang, memberi minum, memandikan sapi dll. Nilai upah ini sesudah jangka waktu penggemukan selesai, biasanya 3 bulan, yaitu Rp 140.625,- per ekor atau Rp 562.500,- untuk 4 ekor sapi.
Namun biaya pakan dan perawatan sapi impor juga lebih tinggi dari sapi lokal. Sementara harga per kg. bobot hidup sapi impor, justru lebih rendah dibanding sapi lokal. Ibaratnya harga ayam broiler dengan ayam kampung. Dengan pertambahan bobot hidup 0,5 kg. per hari, kalau harga per kg. bobot hidup Rp 12.500. maka akan diperoleh marjin kotor Rp 6.250,- per hari.
Dengan memakai contoh menggaduh (maro), maka 50% dari marjin tersebut merupakan hak bagi pemilik modal. Hingga hak bagi pemelihara hanyalah Rp 3.125,- per ekor per hari. Dri marjin tersebut, 50% untuk biaya pakan. terutama konsentrat. Sebab hijauan biasanya akan dicari sendiri oleh si pemelihara. Hingga nilai "upah" bagi pemelihara sapi potong yaitu Rp 1.562,50 per hari.
Dengan kemampuan menggemukkan rata-rata sekitar 4 ekor, maka nilai penghasilan tenaga buruh penggemukan sapi yaitu Rp 6.250,- per hari, dengan jam kerja antara 2 sd. 3 jam. Jam kerja ini akan dipakai untuk mencari hijauan, membersihkan kandang, memberi minum, memandikan sapi dll. Nilai upah ini sesudah jangka waktu penggemukan selesai, biasanya 3 bulan, yaitu Rp 140.625,- per ekor atau Rp 562.500,- untuk 4 ekor sapi.
Kalau penggemukan sapi ini dilakukan secara bisnis, maka nilai biaya yang harus dikeluarkan oleh investor yaitu Rp 3.125,- per ekor per hari untuk sapi lokal, dan Rp 6.250,- per ekor per hari untuk sapi impor. Nilai biaya tersebut akan dialokasikan untuk penyusutan kandang, peralatan, perijinan dll, untuk pakan, obat-obatan serta tenaga kerja, termasuk untuk biaya manajemen.
Jumlah minimal sapi lokal yang bisa digemukkan boleh hanya satu ekor dan sudah menguntungkan. Namun pada sapi impor, ada batasan minimalnya. Sebab mendatangkan sapi bakalan dari Australia, minimal harus satu kapal sebanyak sekitar 2.000 ekor. Hingga angka minimal yang harus digemukkan per angkatan yaitu 2.000 ekor.
Meskipun kini sudah ada contoh "nempil". Seorang investor yang hanya mempunyai modal untuk menggemukkan 20 ekor, bisa patungan dengan dua atau tida investor lain sampai terkumpul 40 sd. 60 ekor. Jumlah ini diusahakan untuk nempil (membeli sebagian kecil) dari pengusaha feedlot yang melaksanakan impor sapi bakalan. Apabila investor kecil tersebut sudah dikenal baik oleh importir, biasanya akan diberi "tempilan" sejumlah yang dibutuhkannya.
Bahkan importir yang biasanya juga pengusaha penggemukan tersebut, akan menjamin pula pemasarannya apabila perjuangan yang dilakukan oleh si investor kecil tersebut berhasil. Patokan keberhasilan ini ditandai dengan angka mortalitas nol dan laju pertumbuhan minimal 1 kg. per ekor per hari.
Jumlah minimal sapi lokal yang bisa digemukkan boleh hanya satu ekor dan sudah menguntungkan. Namun pada sapi impor, ada batasan minimalnya. Sebab mendatangkan sapi bakalan dari Australia, minimal harus satu kapal sebanyak sekitar 2.000 ekor. Hingga angka minimal yang harus digemukkan per angkatan yaitu 2.000 ekor.
Meskipun kini sudah ada contoh "nempil". Seorang investor yang hanya mempunyai modal untuk menggemukkan 20 ekor, bisa patungan dengan dua atau tida investor lain sampai terkumpul 40 sd. 60 ekor. Jumlah ini diusahakan untuk nempil (membeli sebagian kecil) dari pengusaha feedlot yang melaksanakan impor sapi bakalan. Apabila investor kecil tersebut sudah dikenal baik oleh importir, biasanya akan diberi "tempilan" sejumlah yang dibutuhkannya.
Bahkan importir yang biasanya juga pengusaha penggemukan tersebut, akan menjamin pula pemasarannya apabila perjuangan yang dilakukan oleh si investor kecil tersebut berhasil. Patokan keberhasilan ini ditandai dengan angka mortalitas nol dan laju pertumbuhan minimal 1 kg. per ekor per hari.
Komponen utama perjuangan penggemukan sapi potong yaitu pakan. Dalam penggemukan berskala bisnis modern, pakan utama yaitu konsentrat plus silase. Hijauan, baik segar maupun kering hanya diberikan sekadar untuk "lauk pauknya". Sementara dalam penggemukan secara tradisional, pakan utama yaitu hijauan (juga segar maupun kering), sementara pakan tambahannya hanya berupa dedak, ampas tahu, ampas singkong, tetes tebu dan pakan lain sesuai dengan ketersediaan setempat.
Karenanya pertambahan bobot hidup rata-rata pada penggemukan secara tradisional hanyalah 0,5 kg. per hari. Meskipun sapi yang digemukkan merupakan bakalan impor, dengan contoh penggemukan tradisional, sulit untuk mencapai pertumbuhan bobot hidup 1 kg. per hari. Sementara sapi lokal pun, apabila digemukkan dengan pakan utama konsentrat dan silase, sementara hijauannya hanya merupakan pakan tambahan, akan mencapai pertumbuhan bobot hidup lebih dari 0,5 kg per hari.
Pada akhirnya, yang akan menentukan untung ruginya penggemukan sapi potong yaitu komponen biaya pakan ini. Apabila kita bisa menemukan pakan yang bisa meningkatkan bobot hidup tinggi namun harganya murah, maka tingkat manfaatnya akan bertambah. Sebaliknya, penggunaan konsentrat pabrik secara berlebihan, akan menelan biaya tinggi, sampai pertumbuhan bobot hidup yang dicapai tidak bisa lagi menutup biaya pakan.
Karenanya pertambahan bobot hidup rata-rata pada penggemukan secara tradisional hanyalah 0,5 kg. per hari. Meskipun sapi yang digemukkan merupakan bakalan impor, dengan contoh penggemukan tradisional, sulit untuk mencapai pertumbuhan bobot hidup 1 kg. per hari. Sementara sapi lokal pun, apabila digemukkan dengan pakan utama konsentrat dan silase, sementara hijauannya hanya merupakan pakan tambahan, akan mencapai pertumbuhan bobot hidup lebih dari 0,5 kg per hari.
Pada akhirnya, yang akan menentukan untung ruginya penggemukan sapi potong yaitu komponen biaya pakan ini. Apabila kita bisa menemukan pakan yang bisa meningkatkan bobot hidup tinggi namun harganya murah, maka tingkat manfaatnya akan bertambah. Sebaliknya, penggunaan konsentrat pabrik secara berlebihan, akan menelan biaya tinggi, sampai pertumbuhan bobot hidup yang dicapai tidak bisa lagi menutup biaya pakan.
Hijauan murah yang selama ini masih belum termanfaatkan dengan baik untuk perjuangan penggemukan sapi potong yaitu jerami padi. Kalau kita lewat daerah Pantura atau pusat penghasil padi lainnya selama animo panen raya, maka akan tampak jerami yang dihamparkan di tengah sawah dan sesudah kering pribadi dibakar.
Api (panas) yang ditimbulkan jawaban pembakaran jerami ini, bergotong-royong merupakan energi yang masih bisa diubah menjadi protein melalui pencernakan sapi. Di Gunung Kidul, DIY, pada animo kemarau sapi hanya diberi pakan jerami dan tebon (batang jagung) kering. Selulosa ini tentu sangat rendah gizinya. Namun di tahun 1950an, dikala pupuk urea diperkenalkan ke masyarakat, peternak di Gunung Kidul punya gagasan unik.
Kalau mes (urea) bisa menyuburkan tanaman, mestinya juga bisa menggemukkan sapi. Maka mereka pun memberi sapi mereka sedikit urea pada minumannya. Biasanya air minum sapi ini dicampur dengan tetes, ampas singkong atau dedak. Di luar dugaan, ternyata sapi yang hanya diberi jerami dan tebon kering ini sesudah menerima urea benar-benar jadi gemuk. Dalam rumen (lambung sapi), memang terdapat basil penghancur selulosa.
Dengan adanya starter urea plus karbohidrat, basil tersebut akan tumbuh pesat dan menghancurkan selulosa. Karena penghancuran jerami dan tebon kering ini dibantu oleh jutaan bakteri, maka peresapan nutrisinya menjadi lebih optimal. Sementara bangkai basil berupa protein itu, merupakan gizi perhiasan yang luarbiasa.
Api (panas) yang ditimbulkan jawaban pembakaran jerami ini, bergotong-royong merupakan energi yang masih bisa diubah menjadi protein melalui pencernakan sapi. Di Gunung Kidul, DIY, pada animo kemarau sapi hanya diberi pakan jerami dan tebon (batang jagung) kering. Selulosa ini tentu sangat rendah gizinya. Namun di tahun 1950an, dikala pupuk urea diperkenalkan ke masyarakat, peternak di Gunung Kidul punya gagasan unik.
Kalau mes (urea) bisa menyuburkan tanaman, mestinya juga bisa menggemukkan sapi. Maka mereka pun memberi sapi mereka sedikit urea pada minumannya. Biasanya air minum sapi ini dicampur dengan tetes, ampas singkong atau dedak. Di luar dugaan, ternyata sapi yang hanya diberi jerami dan tebon kering ini sesudah menerima urea benar-benar jadi gemuk. Dalam rumen (lambung sapi), memang terdapat basil penghancur selulosa.
Dengan adanya starter urea plus karbohidrat, basil tersebut akan tumbuh pesat dan menghancurkan selulosa. Karena penghancuran jerami dan tebon kering ini dibantu oleh jutaan bakteri, maka peresapan nutrisinya menjadi lebih optimal. Sementara bangkai basil berupa protein itu, merupakan gizi perhiasan yang luarbiasa.
0 Response to "Penggemukan Sapi Dengan Jerami"
Post a Comment